Thursday, September 24, 2009

Kumpulan Cerita Sex


Bonus Mandi Subuh Di Sumur Tua - 1
Kategori : Umum
Saya Aidit kembali akan lanjutkan cerita saya sebelumnya yang berjudul "Bonus Belajar Bersama", karena banyaknya teman-teman yang tertarik dan menanyakan mengenai kelanjutan hubungan saya dengan si "Sari".Berhubung Karena banyaknya teman-teman yang penasaran ingin mengetahui hubungan saya dengan Sari lebih jauh setelah peristiwa di di atas selembar papan pada malam itu, maka demi mengobati rasa penasaran teman-teman, tak ada salahnya saya ceritakan, sebab memang hubungan saya dengan Sari tidak berakhir sampai di situ, melainkan justru meningkat. Entah berapa kali saya berusaha untuk melakukan hubungan badan dengan Sari, namun selalu gagal.Saya dan si Sari sudah saling memahami dan satu rahasia. Karenanya, selaku manusia normal yang masih muda tentu saja tidak aneh jika kami memiliki keinginan untuk mengulangi peristiwa dahsyat yang luar biasa kenikmatannya itu. Kecenderungan seperti itu adalah fitrah bagi setiap manusai, di mana selalu ingin merasakan kembali suatu kenikmatan yang telah dialaminya, meskipun kesannya tentu jauh berbeda dengan yang pertama kali.*****Singkat cerita, sekitar 4 hari dari kejadian yang pertama itu, kami kembali sepakat sewaktu berjalan bersama pada saat kami pulang dari sekolah untuk bangun lebih pagi lagi dan kami sepakat ketemu di sumur jam 4.00 wita. Namun, Sari nampaknya tepat waktu, ia tiba di sumur tua di tengah-tengah sawah yang pernah saya sebutkan dalam episod cerita saya yang lalu, sementara saya tiba di sumur itu jam 4.30 subuh hari itu karena agak terlambat bangunnya. Maklum saya tidur larut malam setelah tukar pikiran di pos ronda bersama para tukan ronda di kampung saya malam itu.Awalnya Sari memang agak kesal menunggu lama, bahkan ia telah selesai mandi, namun masih mencuci beberapa lembar pakaiannya yang sebenarnya belum terlalu kotor dan tidak direncanakan akan dicuci, tapi hanya sekedar alasan kalau-kalau ada warga yang kebetulan mendapatinya sedang menunggu di sumur itu. Tentu saja sebelum ia mengeluarkan kata-kata kesalnya, saya segera mengucapkan permintaan maaf atas keterlambatan saya."Mengucapkan maaf itu memang mudah, tapi saya ini selain kedinginan juga malu kalau-kalau ada orang lain melihat saya sendirian di sumur pada subuh hari," katanya setelah saya minta maaf padanya.Untuk mengobati kekesalannya Sari itu, tanpa aba-aba saya langsung memeluknya dan mengecup sedikit pipinya, dalam hati saya biar ia merasa lebih hangat. Saya tentu lebih berani melakukan hal itu, karena saya sudah yakin ia pasti senang dan tidak bakal menolak sebab kami telah melakukan di rumahnya lebih dari sekedar memeluk tubuhnya yang langsing itu. Ia pun pasrah tanpa reaksi apa-apa merasakan hangatnya pelukan saya itu, mungkin dia masih agak malu-malu membalas pelukanku, maklum sikap seperti itu sudah merupakan fitrah bagi setiap wanita, apalagi dia masih gadis. Pelukan saya itu tidak berlangsung lama karena dia nampaknya agak minder, sehingga tidak berani memberikan reaksi yang sama.Setelah saya lepaskan pelukan itu, dia pun beranjak duduk di pebukitan pinggir sumur dan saya segera menuju sumur buat mandi dan langsung melepas semua pakaian saya tanpa selembarpun tersisa di badan saya, lalu menyiramkan air ke seluruh tubuh saya tanpa peduli bahwa secara diam-diam si Sari terus memperhatikanku. Sikap Sari itu sebenarnya saya sadari, tapi saya pura-pura tidak memperhatikannya dan membiarkan saja menikmati pemandangan yang ada pada tubuhku, lagi pula kan kami sudah saling mencintai dan tidak mustahil juga dia merindukan untuk kembali menikmati peristiwa di atas selembar papan di rumahnya itu.Ketika saya sedang mandi, nampaknya diam-diam ia memperhatikanku, maka saya sengaja menggocok-gocok penis saya dengan sabun agak lama tanpa menoleh sedikitpun padanya, biar ia puas memandanginya tanpa perasaan malu dari saya. Saking asiknya dia memandangi alat vitalku yang saya gocok terus itu, sehingga tanpa kami sadari ternyata di belakang Sari ada wanita setengah baya berdiri memperhatikan sikap kami berdua sejak tadi, bahkan ikut menyaksikan dan menikmati tontonan menarik yang saya peragakan di tepi sumur itu. Ternyata yang berdiri itu adalah Mamanya Sari (tak perlu saya sebutkan namanya) yang menyusul anak pertamanya itu ke sumur karena takut terjadi apa-apa pada diri Sari. Apalagi baru kali ini Sari terlalu pagi ke sumur dan agak kelamaan pulangnya, sehingga tentu saja sebagai orang tua yang menyayangi anaknya ia segera saja menyusulnya.Belakangan baru saya ketahui bahwa Mamanya Sari itu belum pernah menyaksikan secara jelas sebelumnya pemandangan seperti yang saya peragakan di pinggir sumur itu, bukan hanya aksi saya tapi juga barang berharga yang tergantung di selangkangan saya, sebab ternyata setiap ia bersetubuh dengan suaminya selalu dalam keadaan tertutup pakaian tanpa ada rangsangan pendahuluan, dan itupun dilakukannya rata-rata pada tengah malam setelah anak-anaknya diyakini pada tidur nyenyak semua.Ketika saya sadar bahwa Mamanya Sari sejak tadi berdiri menyaksikan sikap kami, saya segera meraih sarung yang letaknya tidak jauh dari tempat saya berdiri, lalu segera membalutkan ke tubuh saya yang bugil itu, dan berusaha secepatnya pergi meninggalkan Sari yang berdiri bersama Mamanya sekitar 2 meter dari pinggir sumur itu. Saya sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun, mulut saya tiba-tiba seolah terkunci dan demikian pula halnya si Sari yang hanya berdiri agak gemetaran di samping Mamanya itu.. Ia tak mampu melangkahkan kaki, apalagi berbicara.Ketika saya bergegas pulang dan melangkah sekitar 7 m dari tempat Sari dan Mamanya berdiri, tiba-tiba."Aidit.., koe jolo iko..! (sini dulu kamu..!)" demikian bentakan Mama si Sari pada saya dalam bahasa daerah kami.Suaranya lantang, keras dan runcing sekali membuatku tersentak dan takut sekali jika ia marah dan melaporkan kejadian ini pada suaminya, orang tuaku, warga kampung dan.. Pokoknya rasa takutku luar biasa pada waktu itu melebihi rasa takutku pada orang tuaku sendiri ketika beliau marah padaku. Suaranya keras bagaikan petir dan seteron yang menyengat sekujur tubuhku. Mukanya merah kehitaman seperti orang habis dipukul dan ingin balas dendam.Tanpa suara sedikitpun, saya pelan-pelan mendekatinya dan pasrah menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan atas sikap kami berdua tadi, yang kurang senono menurut pandangan masyarakat di kampungku."Tongentongeng pada ikotu massifa olok-oloko, asu..! (Kalian ini betul-betul bersifat binatang, anjing..!)".Kata ibunya Sari lebih lanjut setelah saya berada sekitar 2 m di depannya sambil menunjuk muka saya."Addampengakka puang, tappasalaka kasi, (maafkan kami bu, kami khilaf)".Begitulah kata-kata saya di depannya dengan bahasa daerah yang sama sambil sedikit berbungkuk sebagai tanda kesopanan dan penghargaan saya padanya."Maupe'ko tu ia bawang mitako, tania tahu laingnge, magani kira-kira nakko engka tahu lain mitako atau missengngi gaunu nye, apalagi bafa'nu, naulle kafang nauno manekko" peringatannya lebih lanjut seolah menasehatiku.Maksudnya bahwa "Untung hanya saya yang melihatmu atau mengetahuimu, tidak ada orang lain, kira-kira apa jadinya jika ada orang lain yang melihat dan mengetahuimu, apalagi bapakmu, mungkin ia membunuh kalian".Suara dan warna mukanya mulai sedikit normal. Setelah itu, saya disuruh pulang dengan cepat agar saya tidak terlambat ke sekolah, apalagi sudah mulai berdatangan warga untuk ambil air di sumur itu yang menunjukkan bahwa hari sudah mulai siang, nampak pula matahari di ufuk Timur memancarkan sinarnya. Saya sedikit lega karena kemarahan Mamanya Sari agak menurun, bahkan nampaknya ia dapat merahasiakannya dan tidak memberi ancaman hukuman apa-apa pada kami. Sayapun segera berlari pulang hingga sampai di rumah, sedang Sari berjalan bersama Mamanya."Dit.., kenapa kamu terlambat pulang dari sumur nak, cepat-cepatlah, nanti kamu terlambat di sekolah, sehingga kamu dimarahi oleh gurumu)".Hanya itulah kata-kata Mamaku dari dapur setelah saya tiba di rumah dengan menggunakan bahasa daerah."Terlalu banyak orang mau ambil air di sumur, sehingga terpaksa kita antri" hanya itu jawaban saya pada Mamaku sedikit berbohong.Lalu tanpa sempat sarapan pagi, saya langsung meraih buku pelajaranku dan segera pamit meninggalkan rumah sambil sedikit berlari tanpa menunggu lagi Sari, agar aku tidak terlalu ketinggalan mengikuti materi pelajaran jam pertama di sekolah.Sesampai di sekolah, sayapun langsung masuk ke kelasku dan duduk di tempat yang biasanya saya duduki karena memang sedang kosong."Kenapa kamu terlambat, dari pasar lagi yeah?" tanya ketua kelasku yang kebetulan duduk berdampingan denganku.Mendengar pertanyaan temanku itu, saya lalu menjawab dengan sedikit berbohong, "Yah, tapi kan belum juga kita belajar".Kebetulan saya dengan ketua kelasku sangat akrab, sehingga ia tak tega melaporkan hal ini pada guru, apalagi dia pun juga sering terlambat jika hari pasar. Kebetulan jarak antara sekolah kami dengan pasar kecamatan hanya sekitar 100 m. Mendengar ucapan saya itu, spontan terdengar suara tawa dari beberapa teman yang duduk di sekitarku. Ternyata saya yang ditertawakan karena baru saya tahu kalau pelajaran pertama hari itu baru saja selesai sekitar 3 m yang lalu setelah ketua kelasku menunjukkan jam tangan yang dikenakannya, ternyata sudah jam 9.00. Mereka semua pada menunggu guru yang akan mengajar pada jam kedua.Untung keterlambatanku tidak ada yang berani melaporkannya pada kepala sekolah atau pada guru lainnya, apalagi antara saya dengan ketua kelas sudah saling pengertian, boleh dikata satu rahasia. Walaupun saya dengan tenang mengikuti materi-materi pelajaran pada hari itu hingga akhir pelajaran, namun pikiran saya tak pernah terkonsentrasi pada materi, melainkan pikiran saya selalu tertuju pada peristiwa di sumur tadi pagi. Yang selalu menghantui saya adalah apakah perbuatan saya dengan Sari tadi tidak akan diketahui orang lain kecuali Mamanya si Sari saja? akankah hal ini tidak sampai dilaporkan dan diketahui bapaknya Sari? dan apakah Sari masih mau dan masih dibiarkan jalan bersama dengan saya seperti pada hari-hari sebelumnya? Hanya itulah yang selalu membayangi pikiranku dalam perjalanan pulang dari sekolah.Hari itu saya berjalan sendirian pulang dan tidak berusaha menunggu si Sari dari sekolahnya seperti pada hari-hari sebelumnya, sebab mungkin ia malu ketemu saya setelah ia dimarahi oleh Mamanya di depan saya ketika di sumur itu atau dilarang oleh Mamanya pergi ke sekolah, apalagi ketemu dan berjalan bersama dengan saya, serta berbagai macam dugaan pertanyaan yang muncul di pikiran saya mengenai keadaan Sari setelah kejadian tadi subuh itu di sumur. Hingga saya tiba di rumah, pikiran saya tidak pernah konsentrasi pada pelajaran di sekolah, keadaan di perjalanan dan makanan yang ada di rumah, bahkan selera makanku tiba-tiba berkurang setelah sebelumnya saya selalu makan dengan nikmat sekali akibat jauhnya perjalanan yang saya tempuh pulang balik antara rumah dan sekolah saya.Sudah 3 hari setelah kejadian itu saya tidak ketemu Sari, hingga pada hari keempat dari kejadian itu, saya penasaran ingin ketemu Sari untuk menanyakan keadaan dirinya yang sebenarnya setelah kejadian itu, sehingga saya coba bangun agak lebih awal dari biasanya agar bisa saya ketemu di sumur seperti biasanya siapa tahu dia selalu ke sumur lebih pagi. Pagi itu, saya tiba di sumur itu kurang 3 m jam 4.00 subuh menunggu kedatangan Sari. Tapi hingga jam 4.15 m ia belum juga datang. Dalam hati saya mungkin ia selalu datang ke sumur agak terlambat dari biasanya. Karena itu, walaupun saya selesai mandi, namun saya berniat mencoba menunggunya sampai jam 4.30, jika ia tidak datang juga, saya harus pulang biar besoknya lagi saya coba ke sumur agak terlambat lagi, siapa tahu bisa ketemu.Baru saja saya mau duduk di pebukitan di sekitar sumur itu untuk menunggu datangnya Sari, tiba-tiba terdengar suara tidak jauh dari belakangku."Kamu Aidit, apa yang kamu tunggu di situ, kamu tunggu lagi Sari yah, kamu mau peraktekkan lagi, betul-betul kamu tidak kapok yah".Kagetnya aku bukan main setelah mendengar suara itu dengan bahasa daerah tulen, ternyata datangnya dari Mamanya Sari. Belum saya sempat bicara dan menjawab pertanyaan Mamanya Sari itu, tiba-tiba ia memegang bahu kiriku dan menyatakan (semua kata-kata yang diucapkan Mamanya Sari selalu dengan bahasa daerah Bugis, tapi saya tak perlu mengutip semuanya dalam cerita ini)."Sejak saya ketahui perbuatanmu dengan Sari waktu itu, saya melarang lagi Sari bertemu denganmu, apalagi bergaul/bersamamu, jadi sabar saja sebab terlanjut kuketahui perbuatanmu, untung saja saya tidak lapor sama bapaknya".Itulah kata-kata yang disampaikan Mamanya Sari pada saya ketika ketemu di sumur itu. Hati kecilku berkata ternyata betul dugaanku, Sari dilarang lagi oleh Mamanya bergaul dan jalan bersama denganku. Bahkan baru kali itu saya tahu dari Mamanya Sari jika Sari (anaknya) tidak pernah masuk sekolah dan tak pernah lagi ke sumur itu, karena Mamanya melarangnya kecuali ditemani oleh Mamanya atau adiknya. Mungkin karena rasa malu atau jengkel sama Mamanya sehingga Sari mandi dan mencuci di sumur lain yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, meskipun airnya kurang bagus dan sering kering. Si Sari menurut Mamanya selalu murung dan lebih banyak dalam kamar dengan alasan sakit, sehingga ia dan suaminya tidak mau memaksa anaknya itu ke sekolah, meskipun Mamanya sendiri tahu jika hal itu hanya alasan semata, tapi tetap ia memaklumi perasaannya.

Kejamnya Ibukota
Kategori : Umum
Namaku Budi. Akibat dampak krisis yang berkepanjangan, menyebabkan aku dipecat dari perusahaan. Dengan modal seadanya aku berusaha wiraswasta kecil-kecilan. Baru mulai dapat pasar, pemasukan sudah mulai membaik, eh peralatan di tempat usahaku dicuri maling. Apes benar yah. Sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota, memang ada benarnya.Akhirnya dengan meminjam modal pada saudara (jelas tidak mungkin kalau ke bank, apa yang mau diagunkan). Setelah modal cukup aku coba lagi diusaha yang sama, hanya beda lokasi (mungkin hong sui yang dulu nggak bagus - pasar ada tetapi nggak aman).Pemasukan dari usaha ini tidak begitu baik, tetapi tetap bersyukur, karena tempatnya aman. Yah aku coba jalani saja, hingga suatu saat..Aku punya istri, namanya Ida. Dia bekerja di perusahaan swasta sebagai staf pemasaran. Gaji yang dia dapat tidak mencukupi karena (setelah) dipotong dengan biaya transpotasi dan makan, hanya tinggal beberapa ratus ribu rupiah. Sementara fixed cost COM (Cost Of Marriage) alias biaya tetap operasional rumah tangga cukup besar yang tidak sebanding dengan pemasukan, sehingga aku usulkan dia berhenti bekerja saja, agar membantu usahaku dengan demikian aku dapat mengurangi karyawanku dan menambah pemasukan. Alhasil pemasukan hanya dari hasil wiraswastaku, mangan ora mangan ngumpul.Setelah dicoba beberapa bulan, akhirnya dia menolak dengan alasan pemasukanku fluktuatif, sementara dia mempunyai penghasilan tetap. Selain itu pekerjaan di rumah monoton, dan buat apa dia belajar bila tidak dipraktekkan. Semua alasannya masuk akal, sehingga dengan berat hati aku menyetujuinya untuk kembali bekerja di kantor yang sama. Beruntung sebelumnya dia mendapat cuti di luar tanggungan, belum mengundurkan diri, sehingga dapat kembali lagi dengan hak yang sama.Beberapa bulan kemudian istriku bilang ingin mempunyai anak. Saat ini dia menggunakan spiral sebagai kontrasepsi (kita sepakat sebelum nikah agar tidak mempunyai anak bila belum siap secara materiil dan moril). Aku bilang kondisi saat ini tidak memungkinkan. Dia tetap bersikeras bahwa banyak anak banyak rejeki. Aku tertawa mendengarnya. Akhirnya dia menerima untuk sementara waktu tidak hamil dulu. Aku berikan alasan bahwa biaya terbesar untuk mempunyai anak adalah pendidikan dan kedua kesehatan, sehingga dengan kondisi yang belum stabil, aku belum berani ambil resiko - kita selalu bermusyawarah dengan memberikan alasan yang masuk akal, sehingga tidak ada larangan tanpa alasan - alias otoriter.Suatu siang, aku "pingin" banget, kita berdua tinggal di rumah kontrakan di pinggiran Selatan kota Jakarta, yang hanya mempunyai tiga ruang dengan masing-masing ukuran tiga kali tiga, ruang pertama ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur yang mempunyai pintu, sedangkan ruang ketiga adalah dapur dan kamar mandi, sehingga secara keseluruhan rumah kontrakan ini berukuran tiga kali sembilan meter, dan itupun berjajar sebanyak lima buah berdempetan.Kondisi rumah yang kecil dan panas yang terik, membuat dia tidur hanya mengenakan CD dan bra, sementara tak jauh darinya kipas angin dengan kecepatan rendah, sedang berputar. Pagi hari menjelang siang aku "meminta" tetapi dia menolak karena capek. Tapi desakan "arus bawah" ini nggak tahu diri, akhirnya aku berusaha masuk ke kamar. Ternyata kamar dikunci. Dengan tidak kehilangan akal aku berusaha melepas anak kunci di dalam kamar dengan menusuk dari luar dengan obeng, agar jatuh ke koran yang aku letakkan di bawah pintu. Aduh mau minta "jatah" sama istri sendiri saja susahnya minta ampun. Saat anak kunci jatuh, dia terbangun dan anak kunci itu dengan sekali gerakan dengan kakinya keluar dari koran. Yah apes, gagal.Aku coba cara lain. Kabel kipas angin tertancap di stop kontak di luar kamar tidur (karena stop kontak di kamar tidur lagi rusak) aku cabut sehingga udara yang dihembuskan terhenti. Tak berapa lama, dia mulai berkeringat, dan berusaha menekan tombol-tombol kipas yang tak bertegangan.Karena panas dia keluar dan.."Mas, aku capek tolong jangan dulu, pasang lagi kabel kipas anginnya!" katanya. Tanpa komentar kulakukan apa yang dia minta. Yah terpaksa mengalah lagi. Dia kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan tidur tanpa mengunci kamar. Gagal lagi.Suatu hari dia memintaku agar bekerja di kantoran, yang penting mempunyai penghasilan tetap. Aku bilang umurku sudah tidak muda lagi. Mana ada kantor yang mau. Yang ada juga sekarang pada di PHK, kubilang.Saat malam, aku benar-benar "pingin" banget, soalnya yaitu, dia kalau tidur nggak siang atau malam selalu hanya CD dan bra hitamnya saja, sementara kulitnya lumayan putih, jadi kan "arus bawah" selalu meronta. Aku mulai mendekati dan merayunya, karena sudah beberapa hari ini aku hanya masturbasi."Ma, aku pingin, nih.." sambil mengusap paha bagian dalamnya, posisinya tidur telungkup. Dia langsung membalik badan dan duduk serta.."Kamu disuruh kerja nggak mau, aku pingin punya anak kamu nggak mau, apa-apa nggak mau, mati aja sana! ngentot mulu yang dipikirin.." katanya dengan suara cukup keras, malu juga aku didenger oleh tetangga."Ya sudah Ma. Kalau nggak mau yah jangan teriak-teriak gitu dong. Didengerin sama tetangga kan malu!" jawabku. Mungkin dia ada masalah di kantor atau kurang sehat, aku memaklumi, aku keluar kamar dan tidur di ruang tamu.Di suatu sore, saat sampai di rumah dari pulang kerja, setelah membersihkan diri dan makan, dia minta tolong aku untuk ngerokin badannya. Katanya masuk angin. Aku sedang tanggung memperbaiki peralatan usahaku di ruang tamu. Ternyata karena nggak sabar menungguku, dia minta tolong dengan Mbak sebelah untuk ngerokin badannya di kamar tidur kami.Setelah selesai memperbaiki peralatan, aku menuju kamar tidur dan kulihat dia sedang tidur-tiduran (dia selalu tidur dengan telungkup, aku nggak bisa membayangkan saat dia nanti hamil, kalau jadi, khan repot). Aku coba memijat pundaknya, dan mengurut punggungnya. Karena terhalang oleh tali surga alias tali bra, kucoba melepaskan. Dia diam saja, dan aku terus memijat dengan siku tanganku secara perlahan, kuturunkan sedikit bagian belakang celana dalamnya hingga belahan pantatnya tampak semua (kalau dia protes, akan kujawab CD-nya mengganggu).Nampaknya dari hasil pijatanku dia tertidur. Dengan perlahan kulepas CD-nya, pelan-pelan. Setelah terlepas, kupijat telapak kakinya sedikit demi sedikit menuju ke bagian atas sambil melebarkan bentangan kaki kiri dan kanan, kemudian ke arah betisnya, pangkal pahanya, dan kuusap paha bagian dalamnya, dan dia mengubah arah kepalanya dengan membelakangiku (jangan-jangan dia pura-pura tidur??).Saat ini rudalku sudah siaga satu, nampak seperti joystick. Bedanya nggak ada push-button-nya.Saat kupijat paha bagian dalam sengaja kelingkingku tidak ikut menekan tetapi kubiarkan menunjuk. Kadang kugesek ke anusnya, kadang ke klitorisnya (dia mempunyai klitoris yang sangat besar serta keluar dari penutupnya, baik dalam posisi terangsang ataupun tidak - mungkin itu sebabnya dinamakan IDA alias Itil kuDA). Dia ini tergolong wanita dengan bulu lebat, hingga lubang anusnya pun banyak ditumbuhi bulu. Takut dianya marah aku pindah memijat kaki sebelahnya tanpa merubah posisi dudukku, dan kuulangi lagi mengarah ke atas. Kali ini aku tidak menyentuh anus atau klitorisnya, tapi kuusap bulu kemaluan serta bulu sekitar anus tanpa menyentuh kulitnya.Aku lepaskan pakaianku. Kebetulan hawanya panas sekali saat itu. Kuusap kemaluannya, terasa ada seikit lendir, kubalikkan badannya, dan.."Ma, main, yah?" bisikku ke telinganya sambil menjilat daging lunak sekitar telinga."Hmm.." tanpa kata, tapi aku dapat menangkap maksudnya, pasti bukan penolakan. Segera kutindih badannya, dan kuhisap putingnya yang berwarna coklat muda secara bergantian (lucu deh, balita aja kalah mimik asi-nya). Kemudian kucium mulut dan kujilati sekitar telinganya, aku tidak berani mencium lehernya karena masih ada sisa balsem, bukan terangsang yang kudapat malah kepedasan nanti.Aku tidak berani memegang rudalku, karena tangan bekas memijat tadi terkena balsem bekas kerokan yang ada di punggung istriku. Sehingga dengan penuh perjuangan aku mencoba memasukkan rudalku ke dalam vagina istriku tanpa memegangnya, seperti max biagi habis finish terus lepas tangan, tusukan pertama gagal akibatnya terpeleset dan menggesek klitorisnya, istriku coba mengangkang lebih lebar agar lebih leluasa memasukkannya, kutusuk lagi, dan terpeleset dan.."Pa, pelesetin terus aja enak kok," katanya ngeledek. Dalam hati iya enak di kamu, nggak enak di aku. Kucoba yang ke tiga, akhirnya masuk, tetapi belum masuk semua hanya bagian kepalanya saja karena agak sempit. Nggak apa-apa deh yang penting sudah masuk sasaran tembak. Ya sudah, aku coba tarik-tekan dengan "space" yang kecil tadi, dengan kesabaran akhirnya semakin basah dan.."Mph, eh," cuman itu yang keluar dari mulut istriku, dengan raut muka seperti orang tidur.Lama kelamaan vaginanya semakin basah sepertinya mempersilakan rudalku masuk lebih dalam. Kutekan lebih dalam dan masuk semua, baru tarik-tekan, empat kali, aku sudah keluar."Ma, maaf yah, soalnya sudah lama nggak main jadi keluarnya cepet," kataku. Dia tidak menjawab tetapi mengeluarkan lenguhan nafas panjang, artinya dia nggak puas. Yah siapa sih tahan "palkon" (kepala kontol, red) belum masuk semua, tapi digesek-gesek sekitar vagina soalnya belum dipersilakan masuk. Coba deh masturbasi, tapi yang diurut hanya "palkon"nya saja, kalau nggak cepet keluar (ya lecet). Udah gitu aku khan udah lama nggak main jadi yah cepet keluar. Aku agak heran sampe ada yang main bisa lama saat merawanin anak orang. Biasanya untuk pertama kali yang cewek akan merasakan lebih banyak sakitnya ketimbang enaknya, sementara cowok lebih cepat keluar karena "palkon"nya akan terjepit dinding vagina karena si cewek menahan rasa sakit. Yah kecuali kalau cowoknya memakai obat atau Co sudah pengalaman alias nggak perjaka.Setelah itu aku berdiri dengan ke dua lututku. Tampak cairan putih alias spermaku meleleh dari vagina istriku. Ada sebagian orang yang mengatakan itu cairan yang menjijikan, didorong bagaimanapun caranya tetap akan keluar dari kedudukannya (si istri pingin hamil jadi berusaha spermanya nggak keluar) - beda dengan pejabat di negara berkembang udah menjijikan didorong pakai apapun tetap nggak mau turun juga.Kubersihkan dengan CD hitamnya, dan aku ke belakang untuk memcuci "rudalku". Setelah selesai aku kembali ke kamar tidur. Posisi tidur istriku belum berubah, masih terlentang dengan kaki terbuka lebar dan mata terpejam (yang jelas bukan tidur kemungkinan kesel, ya)."Ma, nambah yah?" kataku. Dia diam aja. Aku duduk di depan vaginanya. Tampak vagina labia minoranya sudah menutup, tetapi klitorisnya masih tersembul keluar. Kubuka labia minoranya yang tertutup bulu hitam keriting, saat akan kujilat.."Jangan, Pa, kotor.." kata istriku, sambil bangun terus memegang bagian belakang kepalaku dengan kedua tangannya serta menghisap bibir bawahku, menghisap dengan sangat kuatnya dan mencari-cari lidahku. Setelah dapat, dihisapnya lidahku, terlepas, dimainkannya lidahnya di gusiku. Saat dia melakukan semua gerakan kulihat matanya terpejam, saat mendapatkan lidahku, matanya setengah terbuka yang tampak bagian putihnya saja.Dijilati leherku, terus ke dua putingku, hingga "rudal"ku bergerak tetapi belum mengeras hanya "waspada satu". Selanjutnya dia menjilati lubang "rudal"ku. Poupss, rasanya mak.. Dia suka meng-oral-ku, tetapi kalau di-oral nggak mau, alasannya kotor bekas darah menstruasi, keputihan, bau, pokoknya nggak boleh, yah sudah aku nurut aja, toh aku yang diuntungkan.Dia memasukkan hanya sebatas kepala "rudal" ke dalam mulutnya, dihisap, dilepas (hingga bunyi "plop"), dijilati kepalanya, dihisap lagi, begitu keras menjadi "siaga satu", dimasukkan semuanya ke dalam mulut, dilakukan berulang-ulang. Rasanya "rudal"ku sudah keras, tetapi ada sedikit rasa linu (mungkin setelah keluar yang pertama tadi dan kencing saat dibersihkan sekarang dipaksa tegang lagi), sehingga rasa linu ini mengalahkan rasa nikmat untuk segera "keluar".Tahu kalau sudah "siaga satu", dia segera mengangkangi rudalku dan memasukkan ke vaginanya, bergerak naik turun dengan sangat cepat."Oh.. oh.. ohh.." suaranya keras bener, membuat rasa linuku hilang berubah menjadi nikmat. Kucoba menutup mulutnya agar tidak didengar tetangga, malah jariku dijilati, auw, enak bener. Nggak lama digigit, langsung segera kutarik tanganku (ganas bener, anjing kalah?), Eh, malah lebih keras lagi suaranya. Bodo ah, biarin tetangga denger, kadang seperti orang kepedesan (sshuah - shuah, padahal nggak ada cabenya), kadang seperti orang merintih kesakitan.Sudah capek dengan gerakan cepat naik-turun. Dia terduduk tetapi tetap bergerak memutar secara perlahan, kemudian dia roboh, telungkup memelukku, dan menghisap bibirku. Terasa "rudalku" seperti ada yang menekan, saat dia melakukan penekanan dengan rongga vagina pada "rudalku", dia mengangkat sedikit pantatnya dan menjatuhkannya kembali, akhirnya dia nggak bergerak."Capek aku, Pa," katanya dengan napas ngos-ngosan. Kubalik badannya tanpa melepas "rudal"ku. Tampak hidungnya kembang-kempis, capek benar kayaknya. Kucabut "rudalku". Tampak banyak lendir berwarna putih menyelimuti "rudal"ku, dan di sekitar labia minoranya ini sih bukan becek tapi banjir, tetapi aku tetap senang (wanita tidak mengeluarkan atau menyemprot cairan sperma seperti pria, hanya lendir bening, akibat dikocok terus menerus maka berubah manjadi putih susu).Kalau ada yang bilang "jangan sama orang Sunda", "jangan sama orang Cina", "jangan sama orang berkulit putih", banjir, becek, menurutku "SALAH", banjir dan becek itu menandakan wanita itu terangsang "BUKAN" dari warna kulit, sehingga memudahkan penetrasi. Sebaliknya bila kering akan sulit sekali penetrasi, kalau dipaksakan akan berakibat iritasi selain itu akan menyebabkan ejakulasi premature karena sentuhan yang diterima sangat luar biasa. Mau tahu buktinya mana ada pemerkosa lama, paling nggak lebih dari dua menit (aku bukan pemerkosa lho) yah kalau dia kelamaan keburu ketangkep, tul nggak? Kalau iritasi perihnya minta ampun. Ada cerita yang mengatakan pelacurnya nggak tahu kalau tamunya sudah keluar - itu bisa terjadi bila: pelacurnya acting, pelacurnya lagi ngelamun atau pelacurnya masih perawan, lha wong tiap hari ditusukin pasti dia tahu. Mungkin lebih tahu dari tamunya, soalnya dia berusaha agar secepatnya ejakulasi, khan prestasi kerjanya di situ.Aku bersihkan "rudal"ku dan labia minoranya dengan GT MAN-ku. Selanjutnya kumasukkan kembali, kuangkat kakinya ke pundakku. Gerakanku pelan (kan habis di bersihkan jadi agak berkurang lendirnya) begitu mulai basah kutambah kecepatannya, hingga tak lama akan keluar.."Mas jangan dikeluarin dulu, Papa berdiri deh," kata istriku. Segera aku bangun dan dihisapnya. Saat akan keluar, disemprotkan spermaku ke wajahnya, dan dioleskan "rudalku" ke wajahnya."Kamu kok aneh sih, Ma?" tanyaku."Nggak. Kata teman sperma itu obat manjur untuk jerawat. Selain itu juga mengencangkan wajah!" katanya."Kata siapa?" katanya."Mbak Maryanah," jawabnya. Hah, Mbak Maryanah itu tetangga sampingku, orangnya kalem, sopan, guru TK. Nggak nyangka. Pantes kok nggak pernah jerawatan dan memang sih wajahnya putih kenceng. Tapi masak sih orang seperti itu mau melakukan kayak gitu, yah dalamnya laut siapa tahu?"Pasti ngelamunin ya?" tanyanya, sambil mencubit pantatku."Tahu aja, habis nggak nyangka sih.""Sebetulnya dia keberatan ngasih tahunya, tapi aku desak terus menerus untuk memberikan resep bebas jerawat dan wajah kencengnya. Kata dia sih cuman aku yang tahu, jangan diberitahukan ke siapa-siapa, malu katanya," jawab istriku.Setelah kita berdua membersihkan organ vital, kita menuju peraduan."Ma, kamu itu jerawatan bukan pakai sperma obatnya, tetapi jangan stres!" kataku sambil tidur miring menghadap ke arahnya."Papa ini gimana sih, namanya orang hidup khan pasti punya masalah, nah khan mesti dipikir!" jawabnya nggak kalah sengit sambil menekan jidatku."Tetapi menurutku jerawatmu itu karena nafsumu yang nggak tersalurkan, jadi timbul di wajahmu terus sering marah-marah," kataku."Itu maunya Papa agar bisa sering main, tapi gimana yah, aku khan nggak bisa nafsu kalau aku ada masalah sama kamu.""Jadi kamu selingkuh dengan orang lain, memangnya ada masalah apa denganku.""Selingkuh, nggak lha yau, nggak selingkuh aja sudah pusing apa lagi selingkuh," jawabnya tegas. Wah kaget juga hampir ngantukku hilang. Biasa, habis main biasanya ngantuk bawaannya."Terus masalahmu apa sama aku?" tanyaku."Pa, aku bingung ngurus keuangan rumah tangga, semua keperluan kamar mandi naik, listrik naik, kontrakan naik. Cuma susuku sama spermamu saja yang turun," katanya sambil megang susunya sendiri serta "rudalku"."Yah larinya kok kesitu lagi," kataku."Lho memang kenyataan begitu, kalau sudah gitu khan pusing, gimana mau main, coba.""Kok hari ini kamu tumben mau, biasanya marah-marah melulu?" tanyaku."Tadi aku periksa ke tempatmu kerja, kata Lili (kasirku) banyak pengunjung, jadi pasti kamu bawa uang banyak," jawabnya sambil senyum."Oohh," kataku sambil senyum juga."Jadi kalau gitu masuk angin dan kerokannya hanya akting. Pantes nggak merah? agar mancing aku untuk bersetubuh, memuaskan kamu, dan jerawatmu?" tanyaku kesal, tapi ngecret juga sih."Nggak juga Pa, memang tadi badanku terasa nggak enak, terus aku di jalan lihat orang di bajaj mesra banget, bayangin di bajaj aja mesra, kalau di mobil mewah sih wajar, jadi ingat kamu. Tapi yang lebih penting sih kamu bawa uang lebih," katanya."Lho kok masalah uang lagi?" tanyaku."Iya memang itu sumber masalahnya," jawabnya."Katanya dulu waktu pacaran sudah siap hidup susah, yang penting saling mencinta," rayuku."Makan tuh cinta," katanya. Aku tersenyum."Jadi ada uang abang sayang, nggak ada uang abang ditendang?" kataku."Ember," jawabnya sambil senyum."Tahu gini mendingan beli sate dari pada pelihara kambing," kataku meledek."Sapa suruh luh kawin," katanya sambil menaikkan dagunya yang lancip, sambil merubah posisi tidur dengan wajah membelakangiku."Dasar perempuan, tugasnya ngabisin uang suami," kataku, yang masih tetap tidur miring menghadap ke istriku."Kodrat" jawabnya singkat.Yah, itulah sebagian kecil kehidupan rumah tangga yang selalu banyak masalah silih berganti, padahal sebelum nikah, aku sudah membaca segala macam buku. Kalau ujian mungkin dapat nilai "A". Ternyata setelah nikah, segala teori yang di buku hanya sebagian kecil yang terjadi.Jadi ingat sebuah lagu,Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.Bersakit dahulu - senangpun tak datang, malah mati kemudian.---------(Jamrud)

No comments:

Post a Comment